Rabu, 05 Januari 2011

Sogok


Dalam sejarah Islam tercatat, Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai seorang khalifah yang sangat jujur, tidak pernah mau menerima hadiah dari siapa pun. Sesaat setelah ia dinobatkan datanglah seorang konglomerat yang hendak memberikan hadiah kepadanya. Tapi, khalifah menolak keras pemberian itu. Umar bin Abdul Azis mengartikannya sebagai usaha penyuapan dan penyogokan.

Kolusi dan persekongkolan antara pejabat dan pengusaha yang dapat berdampak pada penyuapan, penyogokan, korupsi, dan pemberian katebelece, sangat ditentang keras oleh Islam. Apalagi kalau dilakukan oleh seorang pejabat, ketika dilantik atas nama Allah dia bersumpah untuk tidak menerima hadiah atau sesuatu pemberian yang diketahui atau diperkirakan akan merugikan negara dan jabatannya. Suatu sumpah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.

Ini dijelaskan baik dalam Alquran maupun sunah. Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Orang yang memberikan sogok, yang menerimanya, dan yang menjadi perantaranya, semuanya masuk neraka.”

Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika mendapat laporan bahwa gubernurnya di Mesir dijamu makan oleh para pengusaha setempat, dia menjadi khawatir dan memperingatkan, ”Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan pada diri Anda sendiri, dan carilah kepuasan rakyat, karena kepuasan rakyat memandulkan kepuasan segelintir orang yang berkedudukan istimewa. Ingatlah! Segelintir orang yang berkedudukan istimewa itu tak akan mendekati Anda ketika Anda dalam kesulitan.”

Untuk menangkal sikap tak terpuji, Imam Ghazali menyatakan, malu dan takut kepada Allah merupakan langkah pencegahan paling efektif untuk menangkis segala penyelewengan, termasuk korupsi dan penyogokan. Rasulullah SAW menyebutkan tanda-tanda orang munafik. Salah satu di antaranya adalah ‘apabila dia dipercaya, dia berkhianat’. Sabdanya lagi, ”Sesungguhnya tak ada agama bagi orang yang tidak mempunyai amanat.” Sedangkan menurut ulama kontemporer Sayid Sabiq, ”Kejujuran adalah tiang keutamaan, tanda kemajuan, bukti kesempurnaan dan penampilan dari perilaku yang bersih.”

Dari berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi SAW menjadi jelas dan tidak disangsikan lagi bahwa Islam mengutuk segala bentuk kolusi, penyuapan, dan sogok-menyogok, mengingat bahayanya bagi masyarakat. Aparat yang ‘terbeli’ tidak dapat lagi bersikap objektif, sementara rakyat kecil di bidang hukum mendapat perlakuan yang tidak adil. Apabila hal ini dibiarkan akan membahayakan sendi-sendi negara, dan hilanglah kepercayaan rakyat terhadap aparat penegak hukum.

Syirik

Syirik atau menyekutukan Allah SWT adalah sesuatu yang amat diharamkan dan secara mutlak ia merupakan dosa yang paling besar. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah bahwasanya SAW bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar (tiga kali) ? mereka menjawab: ya, wahai SAW! beliau bersabda: ‘Menyekutukan Allah SWT’ “.

Setiap dosa kemungkinan diampuni oleh Allah SWT , kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat secara khusus, Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang di kehendaki-Nya”. (Q.S; An Nisa: 48).

Di antara bentuk syirik adalah syirik besar. Syirik ini menjadi penyebab keluarnya seseorang dari agama Islam, dan orang yang bersangkutan, jika meninggal dunia dalam keadaan demikian, maka ia akan kekal di dalam neraka.

Di antara fenomena syirik yang umum terjadi di sebagian besar negara-negara Islam adalah:

* Menyembah Kuburan

Yakni kepercayaan bahwa para wali yang telah meninggal dunia bisa memenuhi hajat, serta bisa membebaskan manusia dari berbagai kesulitan. Karena kepercayaan ini, mereka lalu meminta pertolongan dan bantuan kepada para wali yang telah meninggal dunia, padahal Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia”. (Q.S; Al Isra’ :23).

Termasuk dalam kategori menyembah kuburan adalah memohon kepada orang-orang yang telah meninggal, baik para Nabi, orang-orang shaleh, atau lainnya untuk mendapatkan syafa’at atau melepaskan diri dari berbagai kesukaran hidup. Padahal Allah SWT berfirman: “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah SWT ada tuhan ( yang lain )?”. (Q.S; An Naml: 62).

Sebagian mereka, bahkan membiasakan dan mentradisikan menyebut nama syaikh atau wali tertentu, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ketika melakukan sesuatu kesalahan, di setiap situasi sulit, ketika ditimpa petaka, musibah atau kesukaran hidup.

Di antaranya ada yang menyeru: “Wahai Muhammad.” Ada lagi yang menyebut: “Wahai Ali”. Yang lain lagi menyebut: “Wahai Jailani”. Kemudian ada yang menyebut : “Wahai Syadzali”. Dan yang lain menyebut: “Wahai Rifai”. Yang lain lagi: “Al Idrus sayyidah Zainab”, ada pula yang menyeru: “Ibnu ‘Ulwan”, dan masih banyak lagi. Padahal Allah SWT telah menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang yang kamu seru selain Allah SWT itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu”. (Q.S; Al A’raaf: 194).

Sebagian penyembah kuburan ada yang berthawaf (mengelilingi) kuburan tersebut, mencium disetiap sudutnya, lalu mengusapkannya ke bagian-bagian tubuhnya. Mereka juga menciumi pintu kuburan tersebut dan melumuri wajahnya dengan tanah dan debu kuburan.

Sebagian mereka bahkan ada yang sujud ketika melihatnya, berdiri di depannya dengan penuh khusyu’, merendahkan dan menghinakan diri seraya mengajukan permintaan dan memohon hajat kepada mereka. Ada yang minta disembuhkan dari penyakit, mendapatkan keturunan, dimudahkan urusannya dan juga tak jarang di antara mereka yang menyeru: “Ya sayyidi aku datang kepadamu dari negeri yang jauh, maka janganlah engkau kecewakan aku”. Padahal Allah SWT berfirman: “Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah SWT yang tidak dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka”. (Q.S; Al Ahqaaf: 5).

Nabi bersabda: “Barang siapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah SWT niscaya ia akan masuk neraka”. (HR Bukhari)

Sebagian mereka, mencukur rambutnya di perkuburan, sebagian lagi membawa buku yang berjudul: “Manasikul hajjil masyahid” (tata cara ibadah haji di kuburan keramat). Yang mereka maksudkan dengan masyahid adalah kuburan-kuburan para wali. Sebagian mereka mempercayai bahwa para wali itu mempunyai kewenangan untuk mengatur alam semesta, dan mereka bisa memberi mudharat dan manfaat. Padahal Allah SWT berfirman: “Jika Allah SWT menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi kamu maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya”. (Q.S; Yunus: 107).

Termasuk perbuatan syirik adalah bernadzar untuk selain Allah SWT , seperti yang dilakukan oleh sebagian orang yang bernadzar untuk memberi lilin dan lampu bagi para penghuni kubur.

Termasuk syirik besar adalah menyembelih binatang untuk selain Allah SWT . Padahal Allah SWT berfirman: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”. (Q.S; Al Kautsar: 2).

Maksudnya berkurbanlah hanya untuk Allah SWT dan atas nama-Nya. SAW bersabda: “Allah SWT melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah SWT”. (HR Muslim)

Pada binatang sembelihan itu terdapat dua hal yang diharamkan;

Pertama: Penyembelihannya untuk selain Allah SWT , dan kedua: Penyembelihannya dengan atas nama selain Allah SWT . Keduanya menjadikan daging binatang sembelihan itu tidak boleh dimakan. Dan termasuk penyembelihan jahiliyah- yang terkenal di zaman kita saat ini- adalah menyembelih untuk jin. Yaitu manakala mereka membeli rumah atau membangunnya, atau ketika menggali sumur mereka menyembelih di tempat tersebut atau di depan pintu gerbangnya sebagai sembelihan (sesajen) karena takut dari gangguan jin.

Di antara contoh syirik besar -dan hal ini umum dilakukan- adalah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT atau sebaliknya. Atau kepercayaan bahwa seseorang memiliki hak dalam masalah tersebut selain Allah SWT . Atau berhukum kepada perundang-undangan jahiliyah secara sukarela dan atas kemauannya, seraya menghalalkannya dan kepercayaan bahwa hal tersebut dibolehkan. Allah SWT menyebutkan kufur besar ini dalam firman-Nya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah SWT”. (Q.S; At Taubah: 31).

Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat tersebut yang sedang dibaca oleh SAW ia berkata: “orang-orang itu (Yahudi) tidak menyembah mereka (para alim dan rahib-rahibnya). SAW dengan tegas bersabda: “Benar, tetapi meraka (orang-orang alim dan para rahib itu) menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah SWT , sehingga mereka menganggapnya halal. Dan mengharamkan atas mereka apa yang dihalalkan oleh Allah SWT , sehingga mereka menganggapnya sebagai barang haram, itulah bentuk ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib (HR Baihaqi).

Allah SWT menjelaskan, di antara sifat orang-orang musyrik adalah sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan meraka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah SWT)”.(Q.S; At Taubah: 29). “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah SWT kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah SWT telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan kedustaan atas Allah SWT?”. (Q.S; Yunus: 59).

Termasuk syirik yang banyak terjadi adalah sihir, perdukunan dan ramalan. Adapun sihir, ia termasuk perbuatan kufur dan di antara tujuh dosa besar yang menyebabkan kebinasaan. Sihir hanya mendatangkan bahaya dan sama sekali tidak bermanfaat bagi manusia. Allah SWT berfirman: “Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat”. (Q.S; Al Baqarah: 102). “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”. (Q.S; Thaha: 69).

Orang yang mengajarkan sihir adalah kafir. Allah SWT berfirman: “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu kepada seseorangpun) sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (Q.S; Al Baqarah: 102).

Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh, pekerjaannya haram dan jahat. Orang-orang bodoh, sesat dan lemah iman pergi kepada para tukang sihir untuk berbuat jahat kepada orang lain atau untuk membalas dendam kepada mereka. Di antara manusia ada yang melakukan perbuatan haram, dengan mendatangi tukang sihir dan memohon pertolongan kepadanya agar terbebas dari pengaruh sihir yang menimpanya. Padahal seharusnya ia mengadu dan kembali kepada Allah SWT , memohon kesembuhan dengan Kalam-Nya, seperti dengan mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas) dan sebagainya.

Dukun dan tukang ramal itu memanfaatkan kelengahan orang-orang awam (yang minta pertolongan kepadanya) untuk mengeruk uang mereka sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan banyak sarana untuk perbuatannya tersebut. Di antaranya dengan membuat garis di atas pasir, memukul rumah siput, membaca (garis) telapak tangan, cangkir, bola kaca, cermin, dan sebagainya.

Jika sekali waktu mereka benar, maka sembilan puluh sembilan kalinya hanyalah dusta belaka. Tetapi tetap saja orang-orang dungu tidak mengenang, kecuali waktu yang sekali itu saja. Maka mereka pergi kepada para dukun dan tukang ramal untuk mengetahui nasib mereka di masa depan, apakah akan bahagia, atau sengsara, baik dalam soal pernikahan, perdagangan, mencari barang-barang yang hilang atau yang semisalnya.

Hukum orang yang mendatangi tukang ramal atau dukun, jika mempercayai terhadap apa yang dikatakannya adalah kafir, keluar dari agama Islam. SAW bersabda: “Barang siapa mendatangi dukun dan tukang ramal, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR Ahmad)

Adapun jika orang yang datang tersebut tidak mempercayai bahwa mereka mengetahui hal-hal ghaib, tetapi misalnya pergi untuk sekedar ingin tahu, coba-coba atau sejenisnya, maka ia tidak tergolong orang kafir, tetapi shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. SAW bersabda: “Barang siapa mendatangi peramal, lalu ia menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak di terima shalatnya selama empat puluh malam”. (HR Muslim)

Hal ini harus dibarengi pula dengan tetap mendirikan shalat (wajib) dan bertaubat atas perbuatannya.

* Kepercayaan adanya pengaruh bintang dan planet terhadap berbagai kejadian dan kehidupan manusia.

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani , Ia berkata: SAW shalat bersama kami, shalat subuh di Hudaibiyah -di mana masih ada bekas hujan yang turun di malam harinya- setelah beranjak beliau menghadap para sahabatnya seraya berkata: “Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian?”, mereka menjawab: “Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Allah SWT berfirman: “Pagi ini di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir, adapun orang yang berkata: “Kami diberi hujan dengan karunia Allah SWT dan rahmat-Nya maka dia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang, adapun orang yang berkata: “Hujan ini turun karena bintang ini dan bintang itu maka dia telah kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang”. (HR Bukhari)

Termasuk dalam hal ini adalah mempercayai Astrologi (ramalan bintang), seperti yang banyak kita baca di Koran (surat kabar) dan majalah. Jika ia mempercayai adanya pengaruh bintang dan planet-planet tersebut maka ia telah terjatuh kepada syirik. Jika ia membacanya sekedar untuk hiburan, maka ia telah melakukan perbuatan maksiat dan dosa. Sebab tidak diperbolehkan mencari hiburan dengan membaca hal-hal yang termasuk syirik. Di samping syaitan terkadang berhasil menggoda jiwa manusia sehingga ia percaya kepada hal-hal syirik tersebut, maka membacanya termasuk sarana dan jalan menuju kemusyrikan.

Termasuk syirik, mempercayai adanya manfaat pada sesuatu yang tidak dijadikan demikian oleh Allah SWT . Seperti kepercayaan sebagian orang terhadap jimat, mantera-mantera berbau syirik, kalung dari tulang, gelang logam dan sebagainya, yang penggunaannya sesuai dengan perintah dukun, tukang sihir, atau memang merupakan kepercayaan turun menurun.

Mereka mengalungkan barang-barang tersebut di leher, atau pada anak-anak mereka untuk menolak ‘ain (pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui pandangan matanya; kena mata). Demikian anggapan mereka. Terkadang mereka mengikatkan barang-barang tersebut pada badan, menggantungkannya di mobil atau di rumah, atau mereka mengenakan cincin dengan berbagai macam batu permata, disertai kepercayaan tertentu, seperti untuk tolak bala’ atau untuk menghilangkannya.

Hal semacam ini, tak diragukan lagi sangat bertentangan dengan (perintah) tawakkal kepada Allah SWT . Dan tidaklah hal itu menambah kepada manusia, selain kelemahan. Belum lagi jika ia berobat dengan sesuatu yang diharamkan.

Berbagai bentuk jimat yang digantungkan, sebagian besar dari padanya termasuk syirik jaly (yang nyata). Demikian pula dengan meminta pertolongan kepada sebagian jin atau syaitan, gambar-gambar yang tak bermakna, tulisan-tulisan yang tak berarti dan sebagainya. Sebagian tukang tenung menulis ayat-ayat Al Qur’an dan mencampur-adukkannya dengan hal-hal lain yang termasuk syirik. Bahkan sebagian mereka menulis ayat-ayat Al Qur’an dengan sesuatu yang najis atau dengan darah haid. Menggantungkan atau mengikatkan segala yang disebutkan di atas adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi : “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik “. (HR Ahmad)

Orang yang melakukan perbuatan tersebut, jika ia mempercayai bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat atau mudharat (dengan sendirinya) selain Allah SWT maka ia telah masuk kedalam golongan pelaku syirik besar. Dan jika ia mempercayai bahwa hal itu merupakan sebab bagi datangnya manfaat, padahal Allah SWT tidak menjadikannya sebagai sebab, maka ia telah terjerumus kepada perbutan syirik kecil, dan ini masuk dalam kategori syirk asbab.

Riya Dalam beribadah

Di antara syarat diterimanya amal shaleh adalah bersih dari riya’ dan sesuai dengan sunnah. Orang yang melakukan ibadah dengan maksud agar dilihat oleh orang lain, maka ia telah terjerumus kepada perbuatan syirik kecil, dan amalnya menjadi sia-sia belaka. Misalnya melaksanakan shalat agar dilihat orang lain.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah SWT, dan Allah SWT akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan Allah SWT. Dan tidaklah mereka menyebut Allah SWT kecuali sedikit sekali”. (Q.S; An Nisaa’: 142).

Demikian pula jika ia melakukan suatu amalan dengan tujuan agar diberitakan dan didengar oleh orang lain, maka ia termasuk syirik kecil. SAW memberikan peringatan kepada mereka dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas : “Barangsiapa melakukan perbuatan sum’ah (ingin didengar oleh orang lain), niscaya Allah SWT akan menyebarkan aibnya, dan barang siapa melakukan perbuatan riya’, niscaya Allah SWT akan menyebarkan aibnya”. (HR Muslim)

Barang siapa melakukan suatu ibadah tetapi ia melakukannya karena mengharap pujian manusia di samping ridha Allah SWT , maka amalannya menjadi sia-sia belaka, seperti disebutkan dalam hadits qudsi : “Aku adalah yang Maha Cukup, tidak memerlukan sekutu, barang siapa melakukan suatu amalan dengan dicampuri perbuatan syirik kepada-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya”.(HR Muslim)

Barang siapa melakukan suatu amal shaleh, tiba-tiba terdetik dalam hatinya perasaan riya’, tetapi ia membenci perasaan tersebut dan ia berusaha untuk melawan serta menyingkirkannya, maka amalannya tetap sah.

Berbeda halnya jika ia hanya diam dengan timbulnya perasaan riya’ tersebut, tidak berusaha untuk menyingkirkan dan bahkan malah menikmatinya, maka menurut jumhur (mayoritas) ulama, amal yang dilakukannya menjadi batal dan sia-sia.

Memakan Harta Haram



Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana harta dan bagaimana ia menggunakannya. Yang menjadi pikirannya siang dan malam hanyalah bagaimana menambah simpanannya meski berupa harta haram, baik dari hasil pencurian, suap, ghasap (merampas), pemalsuan, penjualan sesuatu yang haram, kegiatan ribawi, memakan harta anak yatim, atau gaji dari pekerjaan haram seperti perdukunan, pelacuran, menyanyi, korupsi dari baitul mal umat Islam atau harta milik umum, mengambil harta orang lain secara paksa, atau meminta disaat berkecukupan dan sebagainya.

Lalu dengan harta haram itu ia makan, berpakaian, berkendaraan, membangun rumah, atau menyewanya, melengkapi perabotannya, serta membuncitkan perutnya dengan hal-hal yang haram tersebut. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas baginya” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir, 19/136, Shahihul Jami’ : 4495).

Pada hari kiamat ia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana ia menggunakannya. Di sana tentu ia akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.

Karena itu, orang yang memiliki harta haram hendaknya segera berlepas diri daripadanya. Jika merupakan hak antar manusia maka ia harus segera mengembalikannya kepada yang berhak, dengan memohon maaf dan kerelaan, sebelum datang suatu hari yang hutang piutang tidak lagi dibayar dengan uang, tetapi dengan pahala atau dosa.

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design